Judul :
Bung Nandar: Cerita Tak Terceritakan Nusa Kambangan 3536
Penulis :
Djoko Moernantyo
Penerbit :
Sibuku, 2015
Tebal : vi+98 hlm, 13 cm x 19 cm
Harga : Rp38.000,-
Catatan dari Penulis:
CATATAN PENULIS
Minggu, 16 Februari
2014 akan menjadi catatan yang selalu diingat oleh penulis. Ketika itu
tiba-tiba muncul di pemberitaan, “rapat” eks tapol di rumah Bung Nandar di
Srondol Kulon Semarang, digrebek oleh salah satu ormas. Alasannya: dianggap
rapat yang membawa ideologi komunis. Tak hanya digrebek, beberapa orang
termasuk Bung Nandar yang menjadi tuan rumah dan sedang sakit, dibawa ke kantor
polisi untuk dimintai keterangan.
Meski alasannya
terkesan “konyol” dan dibuat-buat, tapi toh
pemeriksaan dilakukan juga. Baru ketika diberitakan termasuk oleh media
nasional, beberapa aktivis bergerak dan mengecam perlakuan yang diterima eks
tapol yang sedang berkumpul itu. Sampai
sekarang tidak ada kejelasan kelanjutannya, hanya dicatat dan entah diapakah
lagi catatan-catatan itu.
Yang bikin “trenyuh”
adalah pemberitaan mayoritas –saya sebut mayoritas karena ada beberapa media
yang berbeda—media yang cenderung menyudutkan dan sepihak. Kemudian
narasumbernya hanya satu pihak dari kepolisian, tanpa pernah bertanya detil
kepada “korban”. Yang jelas, dari kejadian itu saya mengambil kesimpulan bahwa
stigma komunis, tak benar-benar bisa diredam apalagi hilang. Ajakan secara
akademis untuk mengkaji, jelas bukan ajakan yang menarik untuk sebagian
kelompok.
Dari peristiwa itu,
saya tergerak untuk mencari tahu siapa dan bagaimana peran Bung Nandar di era
60an hingga menjalani tahanan sebagai eks tapol di Nusa Kambangan. Dan lahirlah
buku ini.
Harus diakui, peristiwa G-30-S
menyisakan banyak nanah. Banyak yang terlukai secara
fisik, mental dan pemikiran, tapi lebih banyak yang tak tersembuhkan. Bukan
salah atau benar, pelaku atau hanya ikut-ikutan, tapi peristiwa yang sampai
sekarang punya banyak versi itu, telah memberi borok yang masih membekas. Tentu saja
itu terjadi di pihak korban.
Tidak sedikit yang masih
tenggelam dalam nyanyian sunyinya, menyendiri dalam kehampaan, dan tersudut di
ujung penderitaan yang tak berkesudahan. Tapi ada juga yang bergerak perlahan,
membuka diri dan bertutur tentang setiap detil kejadian yang dialaminya. Meski
harus membuka koreng yang mulai mengering, tapi itulah persembahan mereka untuk
sejarah masa depan, khususnya negeri ini, Indonesia.
Buku ini salah satunya.
Bukan untuk memberikan satu doktrin benar atau salah, bukan diposisikan sebagai
pledoi pembenaran juga, tapi lebih kepada penyajian fakta dan pengalaman yang
tidak menyenangkan, karena dibedakan oleh tembok ideologi. Apakah kemudian
harus ada yang dikasihani dan mengasihani? Saya rasa tidak. Karena
masing-masing perbedaan itu sudah berdiri tegak pada posisinya. Yang perlu
adalah menjadikan perbedaan itu sebagai satu kebersamaan. Meminjam satu tagline
iklan di televisi: “Berbeda, tapi masih bisa bersama kan?”
Tokoh dalam buku ini
adalah ayah penulis, yang Puji Tuhan, sampai tulisan ini selesai [2014] masih
sehat dan bisa bertutur dengan jelas tentang apa-apa yang dialaminya. Sekali
lagi, ini bukan untuk menokohkan ayah, atau menjadikannya “idola” baru untuk
pembaca buku ini, tapi sekadar ingin berbagi sejarah [hitam] yang pernah lewat
di negeri ini.
Ngoenandar [selanjutnya
saya sebut Bung Nandar] dalam tulisan ini, bukanlah tokoh yang kerap
bermunculan di buku-buku sejarah, atau nama yang mungkin sering disebut-sebut
dalam perbincangan tentang perjalanan negeri ini. Beliau orang biasa, kemudian
berpolitik dan memilih Partai Komunis Indonesia sebagai lambaran ideologinya.
Kiprahnya di politik
cukup menjanjikan, hingga sempat menjadi salah satu petinggi partai di Jawa
Tengah. Sampai akhirnya peristiwa G 30 S membawanya pada keadaan yang tak
pernah terbayangkan, tahanan politik. Dan Nusa Kambangan menjadi sekolah
kehidupannya kemudian.
Buat keluarga, Bung
Nandar juga seorang ayah yang memang tidak sempurna, tapi juga bisa menjadi
satu panutan kehidupan anak-anaknya. Sikap, ketegasan atas pilihan dan kisah
kehidupannya, menjadi warna-warni bagi kami semua. Ambil yang positif dan
pinggirkan yang negatif, mungkin begitu mencerna perjalanan hidup Bung Nandar
ini.
Biografi yang ditulis
karena “ketidaktahuan” kami akan ayah kami sendiri ini, menjadi kisah penting
dan “mengejutkan” ketika dibeberkan. Sekali lagi, catatan-catatan ini bukan
sebuah pledoi, tapi catatan sejarah hidup seorang Bung Nandar.
Saya pribadi bersyukur,
karena akhirnya bisa “mengenal” ayah saya dengan cukup detil. Kisah ini semoga
bisa membuat kisah-kisah lain yang selama ini terkubur rapat, mencuat ke
permukaan.
0 Response to "Buku Biografi karya Djoko Moernantyo berjudul "Bung Nandar: Cerita Tak Terceritakan Nusa Kambangan 3536""
Post a Comment